Janji Hampa, Utang Menumpuk: Dua Tambang Raksasa Muratara Diseret ke Bareskrim
Laporan ini dilayangkan oleh pengusaha Shandy Hermanto pada 1 Agustus 2025. Ia mengaku sudah berulang kali menempuh jalur damai, namun dua perusahaan tambang tersebut tak juga menunjukkan itikad baik.
“Mereka tidak punya niat menyelesaikan kewajiban. Jalan terakhir hanya lewat hukum. Saya rugi besar dan masyarakat sekitar tambang juga ikut jadi korban,” tegas Shandy, Jumat (22/8/2025).
Berdasarkan catatan, piutang PT. BSE kepada Shandy mencapai Rp14,9 miliar lebih. Belum lagi deretan hutang ke pengusaha lokal Desa Belani:
Sumarta: Rp740 juta
Ariski: Rp400 juta
Agino: Rp643 juta
Arbendi: Rp158 juta
Teguh: Rp890 juta
Hutang takjil: Rp125 juta
Totalnya, kewajiban finansial yang ditunggak mencapai angka puluhan miliar rupiah!
Ironisnya, menurut Shandy, semua upaya damai sudah ditempuh – mulai dari komunikasi personal hingga mediasi – namun nihil hasil. Perusahaan malah terkesan mangkir dan kebal hukum.
Shandy memperingatkan, pembiaran kasus ini bisa memicu gejolak sosial di sekitar tambang.
“Kalau hak-hak rakyat dan pengusaha lokal terus diabaikan, jangan salahkan kalau masyarakat turun langsung menuntut. Kami hanya minta keadilan, bahkan kalau pun tidak bisa lunas, cicilan pun tidak ada,” tandasnya.
Undang-Undang Minerba (UU No. 4/2009 jo. UU No. 3/2020) dengan jelas menegaskan, segala permasalahan di wilayah tambang merupakan tanggung jawab pemegang IUP. Namun, hingga kini, PT. BSE maupun PT. BSL bungkam seribu bahasa.
Kini sorotan publik tertuju ke Bareskrim Polri: Apakah kasus dugaan mega-penipuan ini benar-benar akan diproses tuntas? Atau sekali lagi publik akan disuguhi drama “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas”?
Tidak ada komentar